Nasionalisasi Industri Gas
Mengatasi Kelangkaan dan Mahalnya Harga Pupuk
Kaum tani selalu diposisikan dalam keadaan sulit. Selain harus menghadapi berbagai persoalan seperti kenaikan harga BBM, tiap tahunnya, terutama saat memasuki musim tanam, kaum tani dihantui kelangkaan dan naiknya harga pupuk. Padahal setiap masa tanam, kaum tani membutuhkan pupuk urea sekitar 250 kg/ha --bahkan pada banyak sawah/tanaman pangan, ada yang mencapai 700 kg/Ha. Kebutuhan tersebut belum termasuk dengan tambahan jenis pupuk lainnya (SP36,KCL,ZA) yang bisa mendekati 1 ton/ha.
Menanggapi keadaan tersebut, pemerintah hanya bisa mengulang-ulang pernyataan lama: petani tidak perlu khawatir karena stok pupuk mencukupi dengan harga terjangkau. Kebohongan ini akhirnya kerap kali memicu keresahan. Penyerbuan sebagaimana terjadi pada gudang pupuk milik PT Pupuk Kaltim dan PT Petrokimia Gresik, pada tanggal 24 April 2006 lalu adalah salah satu bentuk kongkritnya. Penyerbuan tersebut dilakukan sekitar 200 petani Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Jember yang mengaku kesal dan tidak sabar melihat pasokan pupuk untuk petani selalu terlambat. Apalagi, saat peristiwa tersebut sekitar 600 hektare tanaman padi milik petani di Desa Kaliwining sudah berusia hampir sebulan dan belum mendapatkan pemupukan urea sama sekali (Tempointeraktif,
Memang, sebagaimana ditunjukkan tabel di bawah, masalah kelangkaan ataupun mahalnya harga pupuk sangat menentukan nasib kaum tani. Pada tahun 2005, kenaikan BBM serta pupuk meningkatkan biaya usaha (produksi) pertanian hingga 70%. Dengan peningkatan ini maka tingkat kesejahteraan petani terus merosot. Belum lagi diperparah persoalan sempitnya kepemilikan (0,25 ha/kk), keterbelakangan teknologi pertanian dan berbagai masalah lainnya. Rendahnya perhatian terhadap sektor pertanian pada akhirnya bermuara pada kemiskinan massal di pedesaan. Sekarang, dari jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (pendapatan ± Rp. 18.500/bulan) yang telah mencapai ½ dari total jumlah penduduk

Subsidi dan Pupuk Murah
Terkait masalah langka dan mahalnya harga pupuk sebab utamanya terletak pada tingginya biaya produksi, terutama komponen gas sebagai bahan
| Konsumsi Gas Untuk Industri Domestik | ||
| Sektor Industri | Volume (MSCF) | % |
| Pupuk dan petrokimia | 265.701 | 10,61 |
| Pembangkit listrik | 195.300 | 7,80 |
| Gas | 82.743 | 3,30 |
| Pengilangan BBM | 30.892 | 1,23 |
| LPG Plant | 26.611 | 1,06 |
| Pabrik semen | 2.751 | 0,11 |
| Lain-lain | 159.509 | 6,37 |
Sumber: BPPT, 2004
Kebutuhan akan gas ini bisa terpenuhi karena produksi gas bumi
Di tengah tersedianya cadangan gas yang sedemikian besar, justru terjadi hal yang sangat ironis seperti dialami perusahaan-perusahaan pupuk yang tidak mampu membeli gas. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), meskipun PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) hanya berbatas pagar kawat dengan ExxonMobil (perusahaan imperialis di Arun, NAD), sejak akhir tahun 2003, kedua pabrik tersebut tidak bisa mendapat pasokan gas dan akhirnya bangkrut. ExxonMobil --pengelola Arun lebih memilih menjual gas Arun ke luar negeri dalam bentuk LNG (liquid natural gas), karena harga gas di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga untuk industri pupuk. Ancaman kebangkrutan karena persoalan yang sama juga menghantui 12 industri pupuk nasional lainnya.
Dengan diserahkannya hak pengelolaan tambang ke pihak swasta (lokal dan asing), pemerintah menjadi terhindar dari tanggung–jawab menjamin pasokan gas bagi pabrik pupuk. Industri pupuk nasional untuk menyokong kepentingan kaum tani pun diharuskan untuk membeli bahan bakar gas sesuai dengan harga pasar. Inilah biang keladi dari mahalnya harga pupuk. Subsidi pertanian, termasuk pupuk sekedar pemanis untuk mengelabui kaum tani saja. Dalam APBN 2006, misalnya, anggaran untuk subsidi pupuk hanya Rp 3,004 triliun, dari kebutuhan paling tidak Rp. 6 trilliun. Meski secara nominal ada kenaikan subsidi Rp 410,6 miliar dibandingkan dengan APBN Perubahan Kedua tahun 2005 yang hanya Rp 2,59 triliun, itupun disertai kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk lebih dari 10% persen.
Kalau kita mau berkaca, di negara lain ternyata berbagai upaya dilakukan untuk melindungi sektor-sektor produksi dalam negerinya, termasuk pertanian. Pemerintah Cina misalnya melarang penjualan pupuk ke luar negeri jika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Demikian pula
Pemerintah di dunia ketiga semacam
Perjuangan Politik: Jalan Menuju Perubahan Baru Nasib Kaum Tani
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kita membutuhkan pemerintah yang dapat berperan aktif menjalankan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kaum tani. Dalam permasalahan pupuk, misalnya kita butuh pemerintahan yang berkemampuan melaksanakan nasionalisasi tambang gas, sebagai pra syarat efektivitas kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pemerintah berkuasa sekarang, dan kekuatan politik utama di
Lantas, bagaimanakah kita merubah situasi ini? Cara satu-satunya adalah berjuang bagi pembentukan satu tatanan kekuasaan baru yang mengabdi kepentingan tani khususnya, dan kepentingan kaum tertindas lain secara umum. Jalan penyelesaian ini makin menemukan peluangnya di tengah tumbuhnya kesadaran baru; terutama, pertama, dalam segi-segi meningkatnya kesadaran bagaimana kekuatan tani dapat mengambil peran yang lebih besar dalam persoalan ketatanegaraan. Artinya, gerakan tani bukan hanya menjadi gerakan ekonomis yang sekedar bereaksi atas berbagai kebijakan politik pertanian yang dianggap tidak menguntungkan, tapi juga bagaimana memastikan posisi Negara dapat sepenuhnya mengabdi pada kepentingan mayoritas tertindas, termasuk kaum tani. Proses ini sering diistilahkan dengan perubahan dari gerakan sosial/ekonomis menuju gerakan politik. Kedua, keinginan melakukan persatuan gerakan kaum tani, dari tingkat terendah hingga nasional. Paling tidak jika belum mampu menyatukan dalam satu organisasi, tapi saling menguatkan dan bekerjasama dalam segala lapangan perjuangan. Salah satu bentuk konkritnya adalah adanya sekretariat-sekretariat bersama (sekber) ataupun aktivitas bersama dari berbagai kelompok atau organisasi tani. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi perjuangan, termasuk bagi penguatan gerakan tani. Ketiga, bergabungnya berbagai serikat/organisasi tani dalam partai baru seperti KP Papernas dengan program alternatif untuk menyelesaikan problem-problem pokok kaum tani dan kaum miskin lainnya.
Namun secara umum kita sendiri punya hambatan atau kelemahan. Jika mau jujur, kita harus berbesar hati menyadari bahwa kaum tani sendiri belum berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingannya. Kaum tani lebih banyak menggantungkan harapan pada kelompok di luar dirinya, seperti mahasiswa ataupun organisasi-organisasi non-tani. Karena itulah kita (kaum tani) menyaksikan banyak kebijakan yang tidak menguntungkan kita lolos begitu saja. Sebagai contoh adalah masalah kelangkaan pupuk sebagaimana dijelaskan di atas, beras impor, liberalisasi perdagangan dalam sektor pertanian, dll. Gerakan kita masih jauh tertinggal dibandingkan gerakan sektor tertindas lain seperti buruh yang mampu melakukan aksi
Inilah persoalan mendesak yang harus dituntaskan kaum tani sekarang ini: dalam bagaimana memajukan keterlibatan aktif kita dalam perjuangan politik serta dalam bagaimana menjadikannya bagian utuh dari perjuangan klas-klas tertindas lainnya.***
1 komentar:
dengan ini kami mohon izin untuk menyertakan alamat site/blog anda ke dalam list Link kami.
Salam
Jaker
Posting Komentar